KALTIMTALK.COM, PENAJAM – Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mempengaruhi kenaikan hampir semua harga barang, selain itu juga memancing pro kontra di kalangan penggiat berbagai bisnis, dampaknya juga pasti dirasakan oleh seluruh masyarakat pelaku ekonomi antara lain Petani dan nelayan.
Hal ini yang mendorong Aliansi Mahasiswa PPU dipimpin Adam, untuk mendampingi dan memfasilitasi sejumlah kelompok petani dan nelayan untuk berdiskusi dengan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dalam mencari solusi terbaik untuk memecahkan persoalan tersebut yang berlangsung di ruang rapat Bupati, Rabu, (21/09/2022).
“Kami telah mecoba telusuri harga harga BBM seperti solar yang berlaku di masyarakat petani dan nelayan, non subsidi harganya bervariasi antara Rp. 8.000 – Rp. 10. 000 dan bahkan ada yang Rp. 20 000. Kami mengharapkan pada pertemuan ini ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk merumuskan formula agar menemukan harga BBM bersubsidi bagi petani dan nelayan,” ungkap Rizik juru bicara Mahasiswa kepada Plt. Bupati PPU H. Hamdam.
Nurhasanah selaku perwakilan Nelayan sepanjang Pesisir Tanjung Jumlai mengeluhkan bahwa pihak pengelola BBM Subsidi yang sedianya berharga Rp. 6.800,- tambah biaya hantar Rp 1000,- perliter menjadi Rp. 7800,- ini tidak terlalu jadi masalah, yang menjadi persoalan menurut dia adalah jadwal pendistribusian ke Pejala yang tak pasti kadang 3 hari sekali kadang lebih.
“Yang paling tak wajar menurut kami adalah ketika kita mengorder BBM pihak pengelola harus mengumpulkan dana terlebih dahulu dari para nelayan, sehingga terjadi keterlambatan datangnya Tengki BBM ke tempat kami, padahal jika BBM sudah ada otomatis nelayan akan mengambil sesuai keperluan, prinsipnya ada uang ada barang,” ungkapnya.
Perwakilan Nelayan dari Kelurahan Tanjung Tengah Riduan menambahkan saat ini Stasiun Pengisian Bahan bakar Nelayan (SPBN) hanya ada di Desa Api-Api, nelayan Pejala dan sekitarnya kesulitan jika harus mengambil BBM ke sana, lantaran jaraknya cukup jauh sehingga harus memakan biaya lagi,” kami ingin bentuk pengelola agar dapat mengambil BBM secara kolektif namun tak direkomendasi pengelola di sana, untuk itu kami berharap manajemen pengelola yang ada harus dievaluasi,” tandasnya.
Hal senada diungkap Suryanto salah satu anggota Gapoktan dari Kecamatan Babulu, ia menjelaskan bahwa Kecamatan Babulu disebut-sebut sebagai lumbung pangan daerah, namun kata dia, faktanya kini berubah jadi lumbung sawit, soal lain petani setempat dari mengolah lahan hingga panen hampir semua menggunakan alsintan seperti Hand traktor, Jonder dan lain-lain, yang nota bene menggunakan BBM.
“Namun ironisnya kata Suryanto rata-rata BBM di sana ia sebut peredarannya dikuasai oleh semacam mafia, ini yang jadi kendalanya,” untuk itu kami minta agar ada tangki BBM yang datang menyalurkan BBM Bersubsidi agar pendistribusiannya tepat sasaran,” pinta Suryanto.
Plt. Bupati PPU H. Hamdam didampingi Kabag Ekonomi Setkab PPU Durajat dan Kabag Pembangunan Nicko Herlambang, Hamdam berpendapat bahwa menurutnya memang BBM bersubsidi memberatkan pemerintah karena lanjutnya cenderung pendistribusiannya sering tidak tepat sasaran.
Sejumlah orang juga mengambil kesempatan, membuat harga BBM diluar ketentuan untuk meraup keuntungan, kita sudah sering menyampaikan komplain kepada Pertamina, sehingga hasilnya Pertamina memberikan kuota yang cukup bahkan lebih terhadap kesediaan BBM yang dibutuhkan,” jika ini masih dirasa sulit oleh petani dan nelayan maka kita berkesimpulan bahwa pengelolaan manajemen distribusi BBM ada kekeliruan,” ungkapnya.
“Dalam hal ini jika kita telusuri ke Pertamina pasti pihaknya tak mungkin bisa diintervensi karena Pertamina dalam menyalurkan BBM sudah ada mekanismenya, kita tahu bahwa Pertamina seperti Negara dalam Negara, namun kita tetap pikirkan solusinya, kita upayakan buat regulasi soal itu, kita coba usulkan untuk membangun SPBN di Pejala, dan kita usulkan untuk membangun SPBT di Babulu,” tutup Hamdam.(*)