PENAJAM – Di tengah persiapan dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Lembaga Adat Paser (LAP) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim), khawatir dengan makin banyaknya kepentingan yang menunggangi nama masyarakat adat dalam beberapa permasalahan agraria yang terjadi di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.
Eko Supriyadi selaku Humas Lembaga Adat Paser (LAP) menilai, saat ini banyak narasi yang bermunculan tentang masyarakat adat yang dicatut atau ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Banyak sekali yang menunggangi dan membawa nama-nama masyarakat adat di dalam beberapa permasalahan Agraria yang terjadi di KIPP IKN, dan sekarang ini karena sedang viral,” ungkap Eko.
Eko juga menilai, masalah ini tidak hanya menyangkut hak atas tanah, tetapi juga integritas dan kedaulatan masyarakat adat atas narasi dan perjuangan mereka sendiri. Oleh karena itu, lanjutnya, LAP menghimbau kepada masyarakat agar lebih selektif dengan isu atau berita-berita di media jangan mudah terprovokasi apalagi menyangkut isu sara.
“Mari kita dukung jalannya pembangunan IKN dengan beberapa catatan yang harus kita berikan kepada Otorita IKN terutama terkait hak-hak Masyarakat terdampak pembangunan IKN baik itu masyarakat adat maupun warga lokal,” tambah Eko.
Konflik agraria yang terjadi di KIPP IKN telah membawa dampak signifikan terhadap masyarakat adat. Namun situasi menjadi semakin kompleks dengan munculnya laporan tentang individu atau kelompok yang mengklaim mewakili masyarakat adat tanpa mandat atau dukungan yang sah dari komunitas tersebut. Tindakan ini seringkali bertujuan untuk memperoleh keuntungan, baik secara politis maupun ekonomis, dari situasi yang sedang berlangsung.
Menyikapi isu masyarakat adat yang sudah muncul di sejumlah media massa dan media sosial beberapa waktu lalu, Eko menyebutkan bahwa LAP telah melaksanakan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) LAP tahun 2024 pada 16 Maret 2024 kemarin.
Dimana diantaranya menyikapi permasalahan isu masyarakat adat yang di ultimatum untuk pindah kurun waktu tujuh hari oleh OIKN. Dan isu jelas tidak benar karena ada beberapa kepentingan yang memviralkan masyarakat adat sebagai korbannya.
Eko Supriyadi juga menambahkan, berdasarkan laporan Ketua LAP Kecamatan Sepaku, Hasanuddin dalam Rakerda, bahwasanya tidak tepat jika dikatakan penggusuran tersebut mengatasnamakan masyarakat adat, karena beberapa fakta dilapangan bukan masyarakat adat, melainkan dengan warga pendatang atau warga lokal.
Praktik pencatutan nama dan penunggangan kepentingan ini berdampak negatif pada masyarakat adat, merusak kredibilitas dan upaya-upaya mereka untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah dan identitas. Lebih jauh, hal ini dapat mengaburkan suara autentik dari masyarakat adat, menghambat kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara efektif dengan pemerintah, pengembang, dan masyarakat luas.
“Memang mereka sudah cukup lama menguasai beberapa bidang tanah di areal tersebut, namun baru mendirikan bangunan sekitar bulan Oktober 2023 silam. Bahkan sudah ada edaran dari Otorita IKN terkait larangan membangun bangunan dalam kawasan KIPP. Tetapi mereka tetap membangun,” ujarnya.
Dibeberkannya, dalam Rakerda itu telah disepakati beberapa point rekomendasi antara lain, LAP mendesak Pemerintah Kabupaten PPU dan DPRD untuk segera menerbitkan Perda Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Dengan meningkatnya perhatian terhadap isu pencatutan nama dan penunggangan kepentingan ini, ada harapan bahwa masyarakat adat adat dapat lebih efektif dalam memperjuangkan hak-hak mereka. LAP juga meminta agar dalam proses perencanaan pembangunan IKN, Pemerintah Pusat dan Otorita IKN harus memperhatikan keberadaan wilayah kehidupan masyarakat adat agar keduanya berjalan seimbang dan berkelanjutan.
“Kami juga mendesak permasalahan konflik agraria antara masyarakat adat, masyarakat lokal dengan pemerintah hendaknya mengutamakan musyawarah, sosialisasi tepat sasaran tanpa intervensi dari pihak manapun,” tutup Eko. (*)